Sabtu, 21 Oktober 2017
Kamis, 04 Mei 2017
Makna Peringatan May Day 2017
Hari Buruh Internasional atau
yang sering disebut sebagai May Day, semua masyarakat Indonesia sekarang mulai
mengenalnya dan bahkan ikut menikmati perayaannya karena sejak tahun 2014
pemerintah Indonesia menjadikan 1 mei sebagai hari libur Nasional. Namun apakah
semua orang tahu kenapa pemerintah menjadikan 1 Mei sebagai hari libur
Nasional? Apa makna dan latarbelakang
lahirnya Hari Buruh Internasional?
Tidak banyak masyarakat yang tahu
makna serta latar belakang lahirnya Hari Buruh Internasional bahkan dikalangan
para buruh pun banyak pula yang tidak tahu tentang itu. Hal ini bukan semata
karena kurangnya pemahaman para buruh terhadap makna dan latar belakang Hari
Buruh Internasional tetapi lebih kepada karena ke-engganan mereka untuk mencaritahu
dan ironisnya lagi masih banyak yang memanadang tabu tentang pergerakan kaum
buruh karena takut dianggap sebagai pemahaman yang sesat dan melawan negara
serta merasa malu untuk mengakui dirinya sebagai buruh. Padahal pada dasarnya setiap
orang yang bekerja kepada orang lain dan mendapatkan imbalan atas
pekerjaannya disebut buruh.
Pasca runtuhnya rezim orde baru
serikat buruh mulai banyak bermunculan, pergerakan mereka semakin masif melawan
kebijakan pemerintah yang banyak merugikan kaum buruh dan masyarakat miskin.
Aksi turun kejalan setiap tahun di awal bulan mei yang merupakan hari buruh
internasional terus dilakukan. Meskipun saat itu para buruh harus rela
berkorban waktu, tenaga dan biaya serta
meninggalkan pekerjaan di perusahaan demi menyuarakan tuntutan kepada
pemerintah terhadap semua permasalahan perburuhan di Indonesia. Akibatnya banyak
perusahaan yang harus stop produksi secara mendadak dan insatansi pemerintahan
juga tidak biasa beroperasi dengan maksimal karena disetiap ruas jalan menjadi
macet karena banyak aksi-aksi buruh yang longmarch di berbagai wilayah. Dampak
yang timbul dari aksi serupa yang terus
berulang-ulang disetiap tanggal 1 mei menyebabkan pemerintah mengeluarkan
kebijakan baru dengan menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Kini dengan dijadikan 1 Mei
sebagai hari libur Nasional banyak kaum buruh yang terlena. Mereka banyak yang
memilih untuk berdiam diri di rumah bahkan banyak yang memilih untuk berekreasi
dengan keluarga ketempat-tempat wisata. Mereka telah lupa bahwa penindasan dan
keseweng-wenangan terhadap buruh oleh kaum kapitalis masih terus dilakukan
bahkan pemerintah semakin tidak berpihak kepada para buruh. Bukti nyatanya
adalah dengan menetapkan PP 78/2015 sebagai alat kenaikan atas upah buruh dan
permenaker 36/2016 sebagai penjaring tenaga kerja yang memaksa tenaga kerja
baru untuk bekerja sebagai tenaga kerja magang.
Momentum May Day tahun 2017 ini
harus dijadikan sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan kaum buruh,
problematika kaum buruh yang terus berlarut-larut harus segera diakhiri dan
mendapatkan titik terang. Sistem Upah Murah, Sistem kerja PHL, Sistem kerja
kontrak dan outsourching bahkan ditambah lagi produk baru yaitu sistem kerja
magang harus dihapuskan. Sehingga kehidupan kaum buruh lebih sejahtera dan
berkeadilan.
Yakinlah bahwa kesejahteraan
buruh masih jauh api dari panggangnya karena kebijakan politik di Indonesia masih
berpihak kepada kepentingan para pengusaha, terlebih saat ini banyak para
pengusaha yang duduk di pemerintahan. Mereka banyak mempengaruhi setiap
kebijakan, maka jangan heran apabila setiap kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah banyak yang merugikan kaum buruh karena upah buruh bagi para
pengusaha merupakan salah satu bagian dari biaya produksi sehingga terus
mengupayakan agar upah buruh tidak besar agar para pengusaha terus mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya.
Mari kita turun kejalan untuk membuktikan
bahwa pergerakan kaum buruh masih akan terus dilakukan selama penindasan masih
ada.
Ditulis oleh
YAYA WARYA
Sekretaris Umum DPP FGSBM
Selasa, 25 April 2017
Sistem Magang Nasional adalah Pemiskinan Rakyat
Jakarta, 14 Desember 2016 Kementrian Tenaga Kerja
Republik Indonesia secara resmi meluncurkan produk upah murah bagi buruh yaitu
Sistem Magang Nasional dengan menetapkan Kepmenaker No. 36 tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Pemagangan di dalam Negeri. Produk baru ini disinyalir
merupakan produk titipan kaum kapitalis yang sekarang banyak bercokol di instansi
pemerintahan. Dengan berkedok solusi mengurangi angka pengangguran dan
meningkatkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan tiap perusahaan, sistem magang
menjadi alat bagi para pengusaha untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah
karena upahnya hanya berupa uang saku yang besarnya dibawah UMK. Bahkan di dalam
aturan magang ini ketika hasil kerja pekerja magang dinilai buruk maka pihak
perusahaan dibolehkan memutus kerja sama magang dengan pekerja yang bersangkutan.
Sementra dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (11) bahwa “pemagangan adalah bagian dari
sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di
lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan
pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses
produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai
keterampilan atau keahlian tertentu. Pelaksanaan dari pemagangan harus terpadu
dengan lembaga pelatihan. Bentuknya pun hanya pelatihan kerja, bukan bekerja
seperti layaknya pekerja.”
Jadi kepmenaker
baru ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan karena peranan pekerja magang sama saja dengan pekerja
dengan masa percobaan bahkan kontrak atau outsourcing.
Kini dengan alat Kepmenaker nomor 36 tahun 2016,
Setiap perusahaan dengan bebas dapat menggunakan pekerja magang untuk
dieksploitasi tenaganya dan setelah masa pemagangan selesai, perusahaan dapat
menggantinya dengan pekerja magang yang lain. Ini mirip seperti kebanyakan
perusahaan yang selalu memutus kontrak pekerja untuk menghindari pengangkatan
menjadi karyawan tetap.
Sistem upah murah yang diterapkan oleh penguasa
negeri ini jelas sangat merugikan kaum buruh dan masyarakat miskin pada
umumnya. Serikat buruh yang ada di Indonesia diharapkan lebih kritis lagi dalam
menyikapi Sistem Magang Nasional ini karena dengan dalih apapun yang namanya sistem
upah murah adalah pemiskinan rakyat Indonesia.
Ditulis
oleh Yaya Warya
Sekretaris Umum
DPP FGSBM
Jumat, 24 Februari 2017
Problematika Kebebasan Berserikat
Kebebasan
berserikat merupakan hak dasar bagi buruh, sebagai hak dasar tidak bisa
dilepaskan dari pendekatan realitas kehidupan sosial dan politik dengan
berbagai aspeknya seperti aspek ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya. Kebebasan
berserikat buruh di Indonesia telah terjamin oleh ketentuan hukum Nasional
maupun Internasional, antara lain :
1.
Pasal 28 E
butir 3 UUD 1945 menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
2. Undang-Undang
No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO nomor 98 tahun 1949 mengenai
Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
3.
Keputusan
Presiden No. 83 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948
tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
4.
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
5.
Undang-Undang
No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
6.
Undang-Undang
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketentuan Jaminan
Kebebasan berserikat di atas tidak diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia
dengan begitu saja, namun timbul karena adanya perkembangan gerakan buruh di
Indonesia sejak zaman penjajahan hingga keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Efektif tidaknya undang-undang
tersebut dalam praktek berpulang kembali kepada bargaining position organisasi
buruh itu sendiri. Sejak beberapa dekade, kebebasan berorganisasi bagi para
buruh telah dipasung. Terpasungnya organisasi buruh di Indonesia ini berdampak
luas termasuk tumpulnya suara buruh dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan.
Kondisi saat ini pemberangusan Serikat Buruh atau
biasa yang kita dengar dengan sebutan Union Busting banyak dilakukan
oleh Pengusaha dalam banyak bentuknya baik terang-terangan ataupun yang tak
teridentifikasi secara jelas, namun ujungnya adalah kesulitan yang dihadapi
oleh Serikat Buruh. Beberapa tindakan Pengusaha dalam upaya memberangus Serikat
Buruh itu diantaranya :
1.
Membangun Serikat Buruh tandingan dalam perusahaan.
Dimana Serikat Buruh tandingan ini didirikan, di suport penuh oleh pihak
manajemen dan biasanya Serikat tandingan cenderung membela kepentingan
manajemen perusahaan.
2. Melakukan “Strikebreaker” atau menyediakan “pekerja/buruh
sementara” saat Serikat Buruh melakukan mogok dalam upaya penuntutan hak-hak
mereka.
3.
PHK pada pengurus Serikat Buruh dengan alasan yang
tidak jelas bahkan alasan yang tidak masuk akal
4. Memberikan pekerjaan yang berlebihan kepada para
pengurus Serikat sehingga pengurus serikat tidak memiliki waktu dalam melakukan
kerja-kerja Serikat.
5. Melakukan upaya kekerasan, benturan sesama pekerja
ataupun upaya kekerasan yang dilakukan oleh pihak luar dengan membayar jawara,
preman dan lainnya.
6. Memberikan promosi jabatan kepada pengurus Serikat
potensial, baik berbentuk Sekolah ke luar negeri atau promosi jabatan pindah ke
tempat kerja lain dengan upah yang jauh lebih baik.
7.
Melakukan intervensi pada masalah internal Serikat
Buruh.
Proses Penegakan Hukum Atas
Kejahatan Kebebasan Berserikat
Ketika
terjadi pelanggaran kebebasan berserikat yang dilakukan oleh para pengusaha
maka pada pasal 40 Undang-Undang Nomor
21 tahun 2000 disebutkan “Untuk menjamin
hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh
melaksanakan kegiatannya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Disamping pegawai
pengawasan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga diberi
wewenang untuk melakukan penyelidikan atas tindakan pidana kejahatan
penghalang-halangan berserikat bagi buruh. Hal ini diatur dalam pasal 41
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 yang berbunyi “Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggungjawabnya dibidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
melakukan penyidikan tindak pidana”.
Proses penanganan
perkara di bidang ketenagakerjaan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pelapor melaporkan adanya dugaan tindak
pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas
Tenaga Kerja.
2. Atas dasar laporan Pelapor tersebut, Pegawai
Pengawas melakukan serangkaian kegiatan pengawasan atau pemeriksaan terhadap
adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan.
3. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan
adanya tindak pidana ketenagakerjaan, maka pegawai pengawas memberikan Nota
Pembinaan.
4. Apabila setelah diberi Nota Pembinaan
ternyata tidak dilaksanakan, maka Pegawai Pengawas menyerahkan perkaranya
kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk dilakukan penyidikan.
5. Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengirim surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Penyidik Polri.
6. Setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil selesai
melakukan penyidikan, kemudian dibuat berkas perkaranya.
7. Setelah selesai pemberkasan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui penyidik polri.
8. Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima berkas
perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada
Pengadilan Negeri untuk disidangkan.
Namun baik Pengawas maupun Penyidik belum melakukan
kerja-kerja yang maksimal. Hal ini akibat dari sebagian besar Pegawai Pengawas
belum mempunyai kompetensi. Kurangnya sosialisasi dari instansi yang bertanggungjawab
dibidang ketenagakerjaan kepada buruh dan pengusaha mengenai kebebasan
berserikat juga menjadi faktor penyebab maraknya pemberangusan Serikat Buruh.
Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak
memiliki perspektif terhadap kejahatan kebebasan berserikat.
Langganan:
Postingan (Atom)