Kamis, 04 Mei 2017

Makna Peringatan May Day 2017




Hari Buruh Internasional atau yang sering disebut sebagai May Day, semua masyarakat Indonesia sekarang mulai mengenalnya dan bahkan ikut menikmati perayaannya karena sejak tahun 2014 pemerintah Indonesia menjadikan 1 mei sebagai hari libur Nasional. Namun apakah semua orang tahu kenapa pemerintah menjadikan 1 Mei sebagai hari libur Nasional?  Apa makna dan latarbelakang lahirnya Hari Buruh Internasional? 

Tidak banyak masyarakat yang tahu makna serta latar belakang lahirnya Hari Buruh Internasional bahkan dikalangan para buruh pun banyak pula yang tidak tahu tentang itu. Hal ini bukan semata karena kurangnya pemahaman para buruh terhadap makna dan latar belakang Hari Buruh Internasional tetapi lebih kepada karena ke-engganan mereka untuk mencaritahu dan ironisnya lagi masih banyak yang memanadang tabu tentang pergerakan kaum buruh karena takut dianggap sebagai pemahaman yang sesat dan melawan negara serta merasa malu untuk mengakui dirinya sebagai buruh. Padahal pada dasarnya setiap orang yang bekerja kepada orang lain dan mendapatkan imbalan atas pekerjaannya  disebut buruh. 

Pasca runtuhnya rezim orde baru serikat buruh mulai banyak bermunculan, pergerakan mereka semakin masif melawan kebijakan pemerintah yang banyak merugikan kaum buruh dan masyarakat miskin. Aksi turun kejalan setiap tahun di awal bulan mei yang merupakan hari buruh internasional terus dilakukan. Meskipun saat itu para buruh harus rela berkorban waktu, tenaga  dan biaya serta meninggalkan pekerjaan di perusahaan demi menyuarakan tuntutan kepada pemerintah terhadap semua permasalahan perburuhan di Indonesia. Akibatnya banyak perusahaan yang harus stop produksi secara mendadak dan insatansi pemerintahan juga tidak biasa beroperasi dengan maksimal karena disetiap ruas jalan menjadi macet karena banyak aksi-aksi buruh yang longmarch di berbagai wilayah. Dampak yang timbul dari aksi serupa yang  terus berulang-ulang disetiap tanggal 1 mei menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru dengan menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional. 

Kini dengan dijadikan 1 Mei sebagai hari libur Nasional banyak kaum buruh yang terlena. Mereka banyak yang memilih untuk berdiam diri di rumah bahkan banyak yang memilih untuk berekreasi dengan keluarga ketempat-tempat wisata. Mereka telah lupa bahwa penindasan dan keseweng-wenangan terhadap buruh oleh kaum kapitalis masih terus dilakukan bahkan pemerintah semakin tidak berpihak kepada para buruh. Bukti nyatanya adalah dengan menetapkan PP 78/2015 sebagai alat kenaikan atas upah buruh dan permenaker 36/2016 sebagai penjaring tenaga kerja yang memaksa tenaga kerja baru untuk bekerja sebagai tenaga kerja magang.

Momentum May Day tahun 2017 ini harus dijadikan sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan kaum buruh, problematika kaum buruh yang terus berlarut-larut harus segera diakhiri dan mendapatkan titik terang. Sistem Upah Murah, Sistem kerja PHL, Sistem kerja kontrak dan outsourching bahkan ditambah lagi produk baru yaitu sistem kerja magang harus dihapuskan. Sehingga kehidupan kaum buruh lebih sejahtera dan berkeadilan. 

Yakinlah bahwa kesejahteraan buruh masih jauh api dari panggangnya karena kebijakan politik di Indonesia masih berpihak kepada kepentingan para pengusaha, terlebih saat ini banyak para pengusaha yang duduk di pemerintahan. Mereka banyak mempengaruhi setiap kebijakan, maka jangan heran apabila setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah banyak yang merugikan kaum buruh karena upah buruh bagi para pengusaha merupakan salah satu bagian dari biaya produksi sehingga terus mengupayakan agar upah buruh tidak besar agar para pengusaha terus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Mari kita turun kejalan untuk membuktikan bahwa pergerakan kaum buruh masih akan terus dilakukan selama penindasan masih ada.

Ditulis oleh                                      
YAYA WARYA                                
Sekretaris Umum DPP FGSBM

Selasa, 25 April 2017

Sistem Magang Nasional adalah Pemiskinan Rakyat



Jakarta, 14 Desember 2016 Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia secara resmi meluncurkan produk upah murah bagi buruh yaitu Sistem Magang Nasional dengan menetapkan Kepmenaker No. 36 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di dalam Negeri. Produk baru ini disinyalir merupakan produk titipan kaum kapitalis yang sekarang banyak bercokol di instansi pemerintahan. Dengan berkedok solusi mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan SDM yang sesuai dengan kebutuhan tiap perusahaan, sistem magang menjadi alat bagi para pengusaha untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah karena upahnya hanya berupa uang saku yang besarnya dibawah UMK. Bahkan di dalam aturan magang ini ketika hasil kerja pekerja magang dinilai buruk maka pihak perusahaan dibolehkan memutus kerja sama magang dengan pekerja yang bersangkutan.

Sementra dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (11) bahwa “pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Pelaksanaan dari pemagangan harus terpadu dengan lembaga pelatihan. Bentuknya pun hanya pelatihan kerja, bukan bekerja seperti layaknya pekerja.” 

Jadi  kepmenaker baru ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena peranan pekerja magang sama saja dengan pekerja dengan masa percobaan bahkan kontrak atau outsourcing.

Kini dengan alat Kepmenaker nomor 36 tahun 2016, Setiap perusahaan dengan bebas dapat menggunakan pekerja magang untuk dieksploitasi tenaganya dan setelah masa pemagangan selesai, perusahaan dapat menggantinya dengan pekerja magang yang lain. Ini mirip seperti kebanyakan perusahaan yang selalu memutus kontrak pekerja untuk menghindari pengangkatan menjadi karyawan tetap.

Sistem upah murah yang diterapkan oleh penguasa negeri ini jelas sangat merugikan kaum buruh dan masyarakat miskin pada umumnya. Serikat buruh yang ada di Indonesia diharapkan lebih kritis lagi dalam menyikapi Sistem Magang Nasional ini karena dengan dalih apapun yang namanya sistem upah murah adalah pemiskinan rakyat Indonesia.

Ditulis oleh  Yaya Warya
Sekretaris Umum DPP FGSBM

Jumat, 24 Februari 2017

Problematika Kebebasan Berserikat




Kebebasan berserikat merupakan hak dasar bagi buruh, sebagai hak dasar tidak bisa dilepaskan dari pendekatan realitas kehidupan sosial dan politik dengan berbagai aspeknya seperti aspek ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya. Kebebasan berserikat buruh di Indonesia telah terjamin oleh ketentuan hukum Nasional maupun Internasional, antara lain : 

1.    Pasal 28 E butir 3 UUD 1945 menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
2.   Undang-Undang No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO nomor 98 tahun 1949 mengenai Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
3.    Keputusan Presiden No. 83 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
4.    Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5.    Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
6.    Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketentuan Jaminan Kebebasan berserikat di atas tidak diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan begitu saja, namun timbul karena adanya perkembangan gerakan buruh di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Efektif tidaknya undang-undang tersebut dalam praktek berpulang kembali kepada bargaining position organisasi buruh itu sendiri. Sejak beberapa dekade, kebebasan berorganisasi bagi para buruh telah dipasung. Terpasungnya organisasi buruh di Indonesia ini berdampak luas termasuk tumpulnya suara buruh dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan.

Kondisi saat ini pemberangusan Serikat Buruh atau biasa yang kita dengar dengan sebutan Union Busting banyak dilakukan oleh Pengusaha dalam banyak bentuknya baik terang-terangan ataupun yang tak teridentifikasi secara jelas, namun ujungnya adalah kesulitan yang dihadapi oleh Serikat Buruh. Beberapa tindakan Pengusaha dalam upaya memberangus Serikat Buruh itu diantaranya :

1.    Membangun Serikat Buruh tandingan dalam perusahaan. Dimana Serikat Buruh tandingan ini didirikan, di suport penuh oleh pihak manajemen dan biasanya Serikat tandingan cenderung membela kepentingan manajemen perusahaan.
2.   Melakukan “Strikebreaker” atau menyediakan “pekerja/buruh sementara” saat Serikat Buruh melakukan mogok dalam upaya penuntutan hak-hak mereka.
3.    PHK pada pengurus Serikat Buruh dengan alasan yang tidak jelas bahkan alasan yang tidak masuk akal
4.   Memberikan pekerjaan yang berlebihan kepada para pengurus Serikat sehingga pengurus serikat tidak memiliki waktu dalam melakukan kerja-kerja Serikat.
5.  Melakukan upaya kekerasan, benturan sesama pekerja ataupun upaya kekerasan yang dilakukan oleh pihak luar dengan membayar jawara, preman dan lainnya.
6.   Memberikan promosi jabatan kepada pengurus Serikat potensial, baik berbentuk Sekolah ke luar negeri atau promosi jabatan pindah ke tempat kerja lain dengan upah yang jauh lebih baik.
7.    Melakukan intervensi pada masalah internal Serikat Buruh.

Proses Penegakan Hukum Atas Kejahatan Kebebasan Berserikat

Ketika terjadi pelanggaran kebebasan berserikat yang dilakukan oleh para pengusaha maka  pada pasal 40 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 disebutkan Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh melaksanakan kegiatannya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping pegawai pengawasan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan atas tindakan pidana kejahatan penghalang-halangan berserikat bagi buruh. Hal ini diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 yang berbunyi Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana”.

Proses penanganan perkara di bidang ketenagakerjaan dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pelapor melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenaga Kerja.
2.  Atas dasar laporan Pelapor tersebut, Pegawai Pengawas melakukan serangkaian kegiatan pengawasan atau pemeriksaan terhadap adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan.
3.  Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya tindak pidana ketenagakerjaan, maka pegawai pengawas memberikan Nota Pembinaan.
4. Apabila setelah diberi Nota Pembinaan ternyata tidak dilaksanakan, maka Pegawai Pengawas menyerahkan perkaranya kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk dilakukan penyidikan.
5.  Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengirim surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Penyidik Polri.
6. Setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil selesai melakukan penyidikan, kemudian dibuat berkas perkaranya.
7. Setelah selesai pemberkasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui penyidik polri.
8.  Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima berkas perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan.

Namun baik Pengawas maupun Penyidik belum melakukan kerja-kerja yang maksimal. Hal ini akibat dari sebagian besar Pegawai Pengawas belum mempunyai kompetensi. Kurangnya sosialisasi dari instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan kepada buruh dan pengusaha mengenai kebebasan berserikat juga menjadi faktor penyebab maraknya pemberangusan Serikat Buruh. Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak memiliki perspektif terhadap kejahatan kebebasan berserikat.