Jumat, 24 Februari 2017

Problematika Kebebasan Berserikat




Kebebasan berserikat merupakan hak dasar bagi buruh, sebagai hak dasar tidak bisa dilepaskan dari pendekatan realitas kehidupan sosial dan politik dengan berbagai aspeknya seperti aspek ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya. Kebebasan berserikat buruh di Indonesia telah terjamin oleh ketentuan hukum Nasional maupun Internasional, antara lain : 

1.    Pasal 28 E butir 3 UUD 1945 menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
2.   Undang-Undang No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO nomor 98 tahun 1949 mengenai Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
3.    Keputusan Presiden No. 83 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
4.    Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5.    Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
6.    Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Ketentuan Jaminan Kebebasan berserikat di atas tidak diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan begitu saja, namun timbul karena adanya perkembangan gerakan buruh di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Efektif tidaknya undang-undang tersebut dalam praktek berpulang kembali kepada bargaining position organisasi buruh itu sendiri. Sejak beberapa dekade, kebebasan berorganisasi bagi para buruh telah dipasung. Terpasungnya organisasi buruh di Indonesia ini berdampak luas termasuk tumpulnya suara buruh dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan.

Kondisi saat ini pemberangusan Serikat Buruh atau biasa yang kita dengar dengan sebutan Union Busting banyak dilakukan oleh Pengusaha dalam banyak bentuknya baik terang-terangan ataupun yang tak teridentifikasi secara jelas, namun ujungnya adalah kesulitan yang dihadapi oleh Serikat Buruh. Beberapa tindakan Pengusaha dalam upaya memberangus Serikat Buruh itu diantaranya :

1.    Membangun Serikat Buruh tandingan dalam perusahaan. Dimana Serikat Buruh tandingan ini didirikan, di suport penuh oleh pihak manajemen dan biasanya Serikat tandingan cenderung membela kepentingan manajemen perusahaan.
2.   Melakukan “Strikebreaker” atau menyediakan “pekerja/buruh sementara” saat Serikat Buruh melakukan mogok dalam upaya penuntutan hak-hak mereka.
3.    PHK pada pengurus Serikat Buruh dengan alasan yang tidak jelas bahkan alasan yang tidak masuk akal
4.   Memberikan pekerjaan yang berlebihan kepada para pengurus Serikat sehingga pengurus serikat tidak memiliki waktu dalam melakukan kerja-kerja Serikat.
5.  Melakukan upaya kekerasan, benturan sesama pekerja ataupun upaya kekerasan yang dilakukan oleh pihak luar dengan membayar jawara, preman dan lainnya.
6.   Memberikan promosi jabatan kepada pengurus Serikat potensial, baik berbentuk Sekolah ke luar negeri atau promosi jabatan pindah ke tempat kerja lain dengan upah yang jauh lebih baik.
7.    Melakukan intervensi pada masalah internal Serikat Buruh.

Proses Penegakan Hukum Atas Kejahatan Kebebasan Berserikat

Ketika terjadi pelanggaran kebebasan berserikat yang dilakukan oleh para pengusaha maka  pada pasal 40 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 disebutkan Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh melaksanakan kegiatannya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping pegawai pengawasan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan atas tindakan pidana kejahatan penghalang-halangan berserikat bagi buruh. Hal ini diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 yang berbunyi Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya dibidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan penyidikan tindak pidana”.

Proses penanganan perkara di bidang ketenagakerjaan dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pelapor melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenaga Kerja.
2.  Atas dasar laporan Pelapor tersebut, Pegawai Pengawas melakukan serangkaian kegiatan pengawasan atau pemeriksaan terhadap adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan.
3.  Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan adanya tindak pidana ketenagakerjaan, maka pegawai pengawas memberikan Nota Pembinaan.
4. Apabila setelah diberi Nota Pembinaan ternyata tidak dilaksanakan, maka Pegawai Pengawas menyerahkan perkaranya kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk dilakukan penyidikan.
5.  Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengirim surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Penyidik Polri.
6. Setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil selesai melakukan penyidikan, kemudian dibuat berkas perkaranya.
7. Setelah selesai pemberkasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui penyidik polri.
8.  Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima berkas perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan.

Namun baik Pengawas maupun Penyidik belum melakukan kerja-kerja yang maksimal. Hal ini akibat dari sebagian besar Pegawai Pengawas belum mempunyai kompetensi. Kurangnya sosialisasi dari instansi yang bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan kepada buruh dan pengusaha mengenai kebebasan berserikat juga menjadi faktor penyebab maraknya pemberangusan Serikat Buruh. Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak memiliki perspektif terhadap kejahatan kebebasan berserikat.