Kebebasan
berserikat merupakan hak dasar bagi buruh, sebagai hak dasar tidak bisa
dilepaskan dari pendekatan realitas kehidupan sosial dan politik dengan
berbagai aspeknya seperti aspek ekonomi, pendidikan, agama dan sebagainya. Kebebasan
berserikat buruh di Indonesia telah terjamin oleh ketentuan hukum Nasional
maupun Internasional, antara lain :
1.
Pasal 28 E
butir 3 UUD 1945 menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
2. Undang-Undang
No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO nomor 98 tahun 1949 mengenai
Dasar-dasar dari hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
3.
Keputusan
Presiden No. 83 tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948
tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
4.
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
5.
Undang-Undang
No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
6.
Undang-Undang
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketentuan Jaminan
Kebebasan berserikat di atas tidak diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia
dengan begitu saja, namun timbul karena adanya perkembangan gerakan buruh di
Indonesia sejak zaman penjajahan hingga keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Efektif tidaknya undang-undang
tersebut dalam praktek berpulang kembali kepada bargaining position organisasi
buruh itu sendiri. Sejak beberapa dekade, kebebasan berorganisasi bagi para
buruh telah dipasung. Terpasungnya organisasi buruh di Indonesia ini berdampak
luas termasuk tumpulnya suara buruh dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan.
Kondisi saat ini pemberangusan Serikat Buruh atau
biasa yang kita dengar dengan sebutan Union Busting banyak dilakukan
oleh Pengusaha dalam banyak bentuknya baik terang-terangan ataupun yang tak
teridentifikasi secara jelas, namun ujungnya adalah kesulitan yang dihadapi
oleh Serikat Buruh. Beberapa tindakan Pengusaha dalam upaya memberangus Serikat
Buruh itu diantaranya :
1.
Membangun Serikat Buruh tandingan dalam perusahaan.
Dimana Serikat Buruh tandingan ini didirikan, di suport penuh oleh pihak
manajemen dan biasanya Serikat tandingan cenderung membela kepentingan
manajemen perusahaan.
2. Melakukan “Strikebreaker” atau menyediakan “pekerja/buruh
sementara” saat Serikat Buruh melakukan mogok dalam upaya penuntutan hak-hak
mereka.
3.
PHK pada pengurus Serikat Buruh dengan alasan yang
tidak jelas bahkan alasan yang tidak masuk akal
4. Memberikan pekerjaan yang berlebihan kepada para
pengurus Serikat sehingga pengurus serikat tidak memiliki waktu dalam melakukan
kerja-kerja Serikat.
5. Melakukan upaya kekerasan, benturan sesama pekerja
ataupun upaya kekerasan yang dilakukan oleh pihak luar dengan membayar jawara,
preman dan lainnya.
6. Memberikan promosi jabatan kepada pengurus Serikat
potensial, baik berbentuk Sekolah ke luar negeri atau promosi jabatan pindah ke
tempat kerja lain dengan upah yang jauh lebih baik.
7.
Melakukan intervensi pada masalah internal Serikat
Buruh.
Proses Penegakan Hukum Atas
Kejahatan Kebebasan Berserikat
Ketika
terjadi pelanggaran kebebasan berserikat yang dilakukan oleh para pengusaha
maka pada pasal 40 Undang-Undang Nomor
21 tahun 2000 disebutkan “Untuk menjamin
hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh
melaksanakan kegiatannya, pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Disamping pegawai
pengawasan penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga diberi
wewenang untuk melakukan penyelidikan atas tindakan pidana kejahatan
penghalang-halangan berserikat bagi buruh. Hal ini diatur dalam pasal 41
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 yang berbunyi “Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggungjawabnya dibidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
melakukan penyidikan tindak pidana”.
Proses penanganan
perkara di bidang ketenagakerjaan dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pelapor melaporkan adanya dugaan tindak
pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas
Tenaga Kerja.
2. Atas dasar laporan Pelapor tersebut, Pegawai
Pengawas melakukan serangkaian kegiatan pengawasan atau pemeriksaan terhadap
adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan.
3. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata ditemukan
adanya tindak pidana ketenagakerjaan, maka pegawai pengawas memberikan Nota
Pembinaan.
4. Apabila setelah diberi Nota Pembinaan
ternyata tidak dilaksanakan, maka Pegawai Pengawas menyerahkan perkaranya
kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk dilakukan penyidikan.
5. Penyidik Pegawai Negeri Sipil mengirim surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Penyidik Polri.
6. Setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil selesai
melakukan penyidikan, kemudian dibuat berkas perkaranya.
7. Setelah selesai pemberkasan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui penyidik polri.
8. Setelah Jaksa Penuntut Umum menerima berkas
perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada
Pengadilan Negeri untuk disidangkan.
Namun baik Pengawas maupun Penyidik belum melakukan
kerja-kerja yang maksimal. Hal ini akibat dari sebagian besar Pegawai Pengawas
belum mempunyai kompetensi. Kurangnya sosialisasi dari instansi yang bertanggungjawab
dibidang ketenagakerjaan kepada buruh dan pengusaha mengenai kebebasan
berserikat juga menjadi faktor penyebab maraknya pemberangusan Serikat Buruh.
Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak
memiliki perspektif terhadap kejahatan kebebasan berserikat.